top of page
Writer's pictureE. Deborah Kalauserang

Sinetron Siaran Langsung di Depan Rumah




Menonton sinetron di pekarangan kami adalah hal yang biasa, dan ini bukanlah sinetron sembarangan. Ini adalah sinetron siaran langsung. Salah satu episode paling brutal yang kami pernah saksikan. Seingatku kejadian ini terjadi saat aku masih di bangku SMP, kelas tujuh.


Jadi begini, biar kuceritakan. Rumah kami itu berada di gang buntu, di sekitar area Universitas Gajah Mada. Tepat di sebelah rumah kami adalah kos campuran (laki-laki dan perempuan), dimana mereka boleh pulang sesuka hatinya, mau tengah malam atau subuh. Pacar pun juga boleh menginap. Pernah sekali Ayahku melihat seorang lelaki, pacarnya VT, keluar pagi-pagi jam lima dari gerbang kos. Padahal dia tidak tinggal di situ, tetapi VT iya. Itu cerita yang lain lagi. Intinya, tidak ada larangan untuk membawa pacar masuk ke dalam area koskosan.


Nah, suatu malam aku dan dua adikku mendengar ribut-ribu di depan rumah. Pergilah kami ke jendela, dan disana tiba-tiba kami sudah menyaksikan acara baku hantam antara seorang perempuan dan lakilaki. Adegan tersebut berlangsung seru di gang buntu yang tepat berada di depan gerbang kos. Rupanya perkelahian tersebut sudah mulai dua menit yang lalu.


Kemudian baku hantam tersebut berhenti untuk sesaat, dan kedua orang itu berdiri berhadapan. Jarak antara si perempuan dan laki-laki itu ada kurang lebih semeter, dan mereka menatap satu sama lain dengan sengit, bagaikan kucing dan anjing. Si lakilaki badannya cukup kekar, dan hanya menggunakan singlet tidak berlengan (makanya ototnya terlihat). Yang perempuan mengenakan kaos putih, dengan rambut dikonde ke atas. Ia sangat kurus. Aku tidak tahu mereka itu siapa, karena lampu jalan yang menerangi depan gerbang kos cukup temaram. Selain itu, aku juga tidak hafal nama anak-anak kos sebelah.


“Kamu itu sudah nggak cinta sama aku!” jerit si Rambut Konde.

“Memang! Terus kenapa? Biarin aku berbuat sesukaku!” sanggah si Singlet.

“Tapi kamu itu sudah nyakitin hatiku!”

“Ya sudah. Kalau memang kamu bilang gitu, kita putus saja!”


Si Singlet mendorong Rambut Konde yang nyaris jatuh terjerembab ke belakang. Rupanya wanitanya juga tidak mau kalah. Ia juga balas mendorong, tetapi kini disertai tinjuan di dada Singlet. Kondenya kini sudah acak-acakan tidak keruan.


“Aku benci kamu! Aku benci kamu!” teriak si wanita, suaranya parau dan sudah berada di

ujung tangisan.

“Dasar perempuan hina!” si Singlet berseru marah. Sebuah kepalan melayang ke bahu Rambut Konde.


Pokoknya perkelahian tersebut berlangsung semacam itu, bagaikan pertarungan antara dua binatang liar. Aku dan kedua adikku menyaksikan tragedi baku hantam kekasih tersebut yang kira-kira berdurasi selama delapan menit.


Sayangnya kami tidak bisa menyaksikan akhir dari perkelahian brutal tersebut, karena dipanggil oleh Ibu untuk membantu menyiapkan makan malam di dapur. Tentu saja kami masih heboh soal siaran langsung di depan rumah, dan menceritakannya kepada ibu.

“Hus! Jangan suka melihat orang berkelahi. Tidak baik!” tanggapnya sambil

menyiapkan nasi.

“Tapi itu seru, lho, Ma! Sinetron live di depan rumah!” kekeh salah satu adikku.

Kemudian, ia menceritakan bagaimana si Singlet dan Rambut Konde berkelahi. Ia juga menirukan mimik wajah kalap mereka sambil sedikit dilebih-lebihkan. Aku mengingat apa yang pernah dikatakan Ayahku bahwa orang-orang yang sedang asmara mengalami penurunan IQ sebesar 30 persen. Aku lupa dimana ia membaca informasi tersebut. Tetapi Ayah memang ada benarnya. Sepasang kekasih tersebut sudah tidak menggunakan akal sehat lagi, tetapi hanya mengikuti ego dan perasaan belaka. Mereka tampak seperti

Kucing dan anjing. Betapa tidak terhormatnnya, apa lagi berkelahi di depan rumah orang! Hmmm…. benar-benar tidak tahu malu. Mungkin mereka sendiri terlalu banyak menonton sinetron.


Jogjakarta, Indonesia

29th February 2016.

6 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


bottom of page