Jumat, 27 April 2018
Suara gonggongan kedua anjingku yang kadang menyebalkan merusak pagiku. Ditambah lagi alarm ponsel yang gagal membangunkanku jam 7.
Rengkuhan selimut masih mendekapku dengan hangat.
Tunggu. Hari apa ini?
Minggu? Sabtu? Senin?
Mataku masih setengah terbuka, masih melihat bayang-bayang mimpi anehku bercampur dengan pemandangan kamar tembokku yang terendam sinar matahari pagi. Kemudian, barulah aku menyadari sesuatu.
Hari Jumat. Dan sekarang sudah jam 7.30 lewat.
Ingin aku berkata kasar.
Sial.
Oke, baiklah. Rasanya lebih lega. Aku bebas untuk berkata apapun di sini.
Kelas bahasa Perancis sudah mulai 30 menit yang lalu. Barangkali membahas konjugasi yang memusingkan kepala atau mencoba melafalkan bunyi ‘r’ kerongkongan tanpa terdengar seperti sedang membuang ludah di wastafel. Maafkan saya, Monsieur Ronny; sudah dua kali saya absen kelas bahasa Perancis bapak. Yang pertama, saya sengaja membolos. Yang kedua, saya tidak sengaja membolos walaupun sebenarnya saya ingin. Saya tahu bapak tidak akan membaca apa yang saya barusan katakan. Tapi paling tidak saya punya rasa penyesalan dan minta maaf sama bapak.
Aku hanya bisa mengerang di tempat tidurku. Inilah alasan mengapa aku jengkel dengan jadwal semester 4. Kelasku semua serba jam 7, persis seperti jadwal sekolah anak SD. Aku tidak keberatan semua kelasku jam 7 pagi jika aku memiliki kekuatan super untuk bangun pagi setiap hari. Namun, yang menjadi masalah adalah aku tidak pernah tidur. Aku selalu hibernasi.
Di kasurku yang nyaris terjepit oleh lemari dan tempat tidur adikku, aku menatap plafon putih kamarku yang sudah usang. Aku mulai mengingat apa saja yang telah terjadi kemarin. Yang jelas, aku mendapat mimpi aneh. Kemudian aku mengingat bahwa aku juga berkunjung ke kampus tetangga yang serba moderen dan keren.
Dalam mimpi anehku, aku berenang di kolam yang sangat luas bersama barang-barang janggal seperti obeng dan sekrup sepanjang satu meter. Dan herannya, setelah itu kuku jemariku menjadi tiga kali lebih panjang dan berwarna pelangi. Mungkin karena saking lelahnya, kupingku sudah terlalu kebal dengan jeritan pagi vokalis Journey dengan lagu legendarisnya yang berjudul Don’t Stop Believing. Aku bergidik ngeri. Baiklah, bagaimana jika aku sedang meraih gelar S2 ku di Selandia Baru dan tidak ada Pauline atau Abe yang membangunkanku? Menyeramkan. Kadang aku lebih mencintai tempat tidur dari pada manusia.
Sepertinya aku tahu mengapa aku bermimpi seperti itu. Mungkin karena kemarin aku mengunjungi kampus jiran kawanku untuk proyek wawancara. Dia mengambil jurusan teknik informatika. Pasti otakku mengasosiasikan teknik dengan obeng dan sekrup. Tapi aku sedikit bertanya-tanya bagian kuku pelangi norak yang aku mendadak muncul di alam bawah sadarku.
Kampus tetanggaku tidak memiliki warna pelangi norak di tembok mereka sama sekali, melainkan memiliki kelas yang serba ber-AC, parkiran bawah tanah yang mewah dan lift untuk mahasiswa yang malas menaiki tangga.
Aku berangkat bersama Gita, berdua naik motor. Kami mendadak bingung mau parkir dimana karena yang kami lihat adalah parkiran yang dipenuhi oleh mobil, tidak seperti kampus kami yang mayoritas dibanjiri oleh motor.
“Eh.. mas.. parkiran motor dimana ya mas?” tanya kami ke salah satu orang yan nampaknya sedang asyik pacaran di parkiran.
“Oh, itu harus parkir di sebelah kanan kampus ini mbak,” jawabnya.
“Ohhh oke-oke mas, makasih ya.”
Terpaksalah kami memutar haluan dan mencari parkiran motor tersebut.
“Memangnya itu dimana sih?” tanyaku kepada Gita yang mengemudi di depan.
“Mboh Deb. Ga ngerti aku,” ia tertawa lepas, “Wes, kita ki kayak wong ndeso wae Deb. Maluuu..”
Aku meringis bodoh.
Saat kami hendak keluar gerbang sambil menerka-nerka apa yang dimaksud mas-nya tadi, muncullah dia di sebelah kami untuk memberikan petunjuk jalan yang lebih detail dari atas motornya. Sepertinya dia belum tidur selama dua hari.
Kami berterimakasih sekali lagi. Saat sampai , kami begitu terpana melihat basement parkiran motor yang nyaris seperti milik mall Ambarukmo Plaza—layaknya dua bocah Wonosari yang baru saja mengerti seperti apa itu kata ‘Jakarta’. Senyumku makin lebar melihat pemandangan di sekeliling kami. Mahasiswi cantik dan modis berkeliaran ke sana kemari bersama tas bermerek. Sama halnya juga dengan para pria. Hal tersebut benar-benar sesuatu yang sangat kontras dengan kampus kami yang tidak begitu ambil pusing terhadap pakaian—sing penting sans, lur! Aku menyukai pergantian suasana yang aku jumpai. Itu memberiku inspirasi untuk menulis seperti sekarang.
Setelah terjebak di satu lift bersama segerombolan laki-laki berkemeja (yang memandangi kami dengan rasa ingin tahu dan tempe), kami akhirnya sampai di lantai dua. Kami segera disambut oleh temanku, Djoni, yang melambai dari kejauhan. Matanya selalu tersenyum, namun kadang terlihat lelah. Namun kedua matanya tetap tersenyum selebar yang mereka bisa, meski tertelan oleh kedua pipinya.
Kami bertiga berjalan membelah kerumunan yang terlantar di lorong-lorong kelas. Menurutku, bagian ini cukup penting. Itu sebabnya aku menjadikannya satu paragraf sendiri. Para mahasiswa dan mahasiswi melihat kami dengan aneh dan lagi-lagi dengan rasa ingin tahu (kali ini tanpa tempe). Memang, aku sengaja berpakaian ala sastra di kampus kami. Kan lucu kalau aku berpakaian rapi seperti mereka tapi tidak tahu arah. Nanti seperti anak yang hilang. Pokoknya, kalau mau tersesat jangan naggung-nanggung. Kami berdua sibuk mengekor di belakang Djoni. Di pandangan kawan-kawan Djoni, kami berdua terlihat seperti angka 2 dan 3 yang melayang-layang di udara, yang tidak pernah menampakkan diri di deretan 1-0-1-0 yang serba seragam. Teman-teman Djoni sepertinya memang butuh hiburan lebih banyak.
Setelah Dimas datang, kami mengambil beberapa adegan wawancara Djoni dan sedikit video dirinya sedang berjalan atau memelototi kamera. Aku tahu Dimas sangat senang dengan hasilnya, karena ia kemudian merokok dan menceritakan kisah panjang lebarnya dengan bersemangat tentang pengalaman meminum liquor gratis di restoran kakaknya dan diskon pizza di kedai yang baru saja buka di Jogja.
Sebelum pulang, aku dan Gita sempat menemui salah satu dosen di sana yang aku kenal baik. Dia mengajak kami ke kantornya dan bercerita banyak tentang pengalamannya mengajar di kampus kami dan di kampus ini. Aku senang bahwa dia mengajak kami ke kantornya, karena aku bisa membiarkan diriku menikmati kursi empuk miliknya dan AC yang dingin (yang tentu saja, hadir di setiap kelas mereka dan tidak diperebutkan mahasiswa).
Akhirnya kami kembali ke tempat masing-masing, membawa pulang rasa puas kalau sudah bisa mengintip sedikit kehidupan tetangga kami.
Dan keesokan harinya aku terlambat bangun karena aku berenang bersama obeng dan sekrup sepanjang satu meter.
Comments